Selamat Datang di Blog MI NW NO. 1 Kelayu Lotim NTB, sarana berbagi pengetahuan, saling membangun dan saling memperingati"Katakan ilmu itu walau satu ayat, katakan kebenaran itu meskipun pahit"

e - Learning

Posted by mi1kelayu.blogspot.com | | | 2 comments »

A. MEDIA PEMBELAJARAN
Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1982) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.
Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1982) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Heinich ( 1993 ) media merupakan alat ukur saluran komunikasi. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.
Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke –20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.
Media memiliki beberapa fungsi, diantaranya :
1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke obyek langsung yang dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Obyek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar – gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.
2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu obyek, yang disebabkan, karena :
a. Obyek terlalu besar
b. Obyek terlalu kecil
c. Obyek yang bergerak terlalu lambat
d. Obyek yang bergerak terlalu cepat
e. Obyek yang terlalu kompleks
f. Obyek yang bunyinya terlalu halus
g. Obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi.
3. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
4. Media menghasilkan keseragaman pengamatan
5. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis.
6. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.
7. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
8. Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak.
Terdapat berbagai jenis media belajar, diantaranya:
1. Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik
2. Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya
3. Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya
4. Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.


Sejalan dengan perkembangan IPTEK penggunaan media, baik yang bersifat visual, audial, projected still media maupun projected motion media bisa dilakukan secara bersama dan serempak melalui satu alat saja yang disebut Multi Media. Contoh : dewasa ini penggunaan komputer tidak hanya bersifat projected motion media, namun dapat meramu semua jenis media yang bersifat interaktif. Kriteria yang paling utama dalam pemilihan media bahwa media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Contoh : bila tujuan atau kompetensi peserta didik bersifat menghafalkan kata-kata tentunya media audio yang tepat untuk digunakan. Jika tujuan atau kompetensi yang dicapai bersifat memahami isi bacaan maka media cetak yang lebih tepat digunakan. Kalau tujuan pembelajaran bersifat motorik (gerak dan aktivitas), maka media film dan video bisa digunakan. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya yang bersifat melengkapi (komplementer), seperti: biaya, ketepatgunaan; keadaan peserta didik; ketersediaan; dan mutu teknis.
B. E-LEARNING
1. Difinisi e-Learning
Istilah e-learning berasal dari kata e, (e) pada e-learning sebetulnya berbicara tentang exploration (pendalaman), experience (pengalaman), engagement (keterlibatan), ease of use (kemudahan penggunaan), dan empowermen (pendayagunaan) dan Learning yang artinya pembelajaran. Penulisan kata elearning ada dua versi yaitu eLearning (degnan kata penghubung) dan eLearing (tidak menggunakan kata penghubung). Apabila dianalisa, fenomenanya sedikit mirip dengan kata “email” dan “e-mail”. Sampai tahun 1998 hampir semua orang menggunakan istilah “e-learning” (dengan tanda hubung). Cisco menggunakan istilah “e-learning” dan SmartForce menggunakan terminologi “e-Learning Company”. Setelah mulai matang dan banyak dikenal, tanda hubung mulai tidak digunakan. Sehingga digunakanlah istilah “elearning” atau “eLearning” ( tanpa tanda hubung ). Microsoft menggunakan istilah “eLearn” demikian juga dengan beberapa vendor lain. Saat ini pemakaian kata “e-learning” ( dengan tanda hubung ) masih lebih banyak daripada elearning, hakektnya tidak ada yang salah atau yang benar, karena kedua kata tersebut dapat digunakan sebagai terminologi yang benar.
Istilah e-Learning mengandung pengertian yang sangat luas, sehingga banyak pakar yang menguraikan tentang definisi e-Learning dari berbagai sudut pandang. Salah satu definisi yang cukup dapat diterima banyak pihak misalnya dari Darin E. Hartley ( Hartley, 2001 ) yang menyatakan: e-Learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain.
LearnFrame.Com dalam Glossary of e-Learning Terms ( Glossary, 2001) menyatakan suatu definisi yang lebih luas bahwa: e-Learning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan komputer,maupun komputer standalone.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa e-Learning adalah suatu proses belajar mengajar yang memanfaatkan aplikasi elektronik dengan media internet, interanet, jaringan komputer dan standalone.
E-Learning merupakan pembelajaran jarak jauh ( distance Learning ) yang memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer dan/atau Internet. E-Learning memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka masing-masing tanpa harus secara fisik pergi mengikuti pelajaran/perkuliahan di kelas. E-Learning sering pula dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Sebenarnya materi e-Learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-Learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat di mana dia berada.
e-Learning disebut juga dengan pembelajaran berbantuan komputer, secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu komputer mandiri (standalone) dan komputer dalam jaringan. Perbedaan yang utama antara keduanya terletak pada aspek interaktivitas. Dalam pembelajaran melalui komputer mandiri, interaktivitas peserta pelajar terbatas pada interaksi dengan materi ajar yang ada dalam program pembelajaran.
Pada pembelajaran dengan komputer dalam jaringan, interaktivitas peserta ajar menjadi lebih banyak alternatifnya. Pada pembelajaran dengan komputer jaringan dikenal dua fungsi komputer yaitu komputer server dan komputer klien. Interaksi antara peserta ajar dengan tenaga pengajar dilakukan melalui kedua jenis komputer tersebut.
2. Kelebihan E – Learning
Pembelajaran dengan menggunakan e-learning mempunyai berbagai kelebihan dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional. Dengan munculnya e-learning, memberikan warna baru dalam proses pembelajaran fisika di kelas. Pengajar dalam hal ini guru Sains (Fisika) banyak menjumpai kesulitan jika di laboratoriumnya tidak tersedia alat-alat untuk praktikum. Mereka berangggapan jika tidak ada alat yang tersedia maka praktikum lebih baik tidak dilaksanakan. Tetapi jika guru menggunakan bantuan e-learning, dalam internet sudah banyak tersedia animasi interaktif yang menyediakan fasilitas alat-alat praktikum yang dapat digunakan. Guru bisa langsung online ke web yang dituju terus men-download program yang diinginkan. Alat-alat praktikum yang dirasa mahal untuk dibeli ternyata bisa diganti dengan animasi komputer yang canggih dan sederhana. Program yang sering digunakan antara lain: Macromedia Flash, Java Applet, dan lain sebagainya. Selain men-download dari internet, kita juga dapat menggunakan CD pembelajaran yang sudah banyak beredar.
Kelebihan yang paling menonjol dari pembelajaran menggunakan komputer dalam hal ini e-learning adalah kemampuan siswa untuk dapat belajar mandiri. Karena sifat komputer yang lebih personal/individu, dapat membantu siswa untuk belajar mandiri dengan atau tanpa bimbingan langsung dari gurunya. Guru dalam hal ini pembelajaran dengan e-learning, dapat melaksanakan pembelajaran tanpa tatap muka secara langsung. Dengan kata lain, dengan atau tanpa gurupun pembelajaran secara mandiri tetap bisa berlangsung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa ahli di bawah ini.
Darsono (2001) menyatakan bahwa prinsip memahami sendiri (belajar mandiri) sangat penting dalam belajar dan erat kaitannya dengan prinsip keaktifan. Siswa yang belajar dengan melakukan sendiri (tidak minta tolong orang lain) akan memberikan hasil belajar yang lebih cepat dalam pemahaman yang lebih mendalam. Prinsip ini telah dibuktikan oleh John Dewey dengan “lerning by doing” nya. Lebih lanjut prinsip memahami sendiri ini diartikan bahwa hendaknya siswa tidak hanya tahu secara teoritis, tetapi juga secara praktis. Pembelajaran dengan menggunakan e-learning dapat menumbuhkan sikap belajar mandiri.
Arsyad (2002) menyatakan bahwa media pembelajaran dengan komputer dapat menampilkan dengan baik berbagai simulasi, visualisasi, konsep-konsep, dan multimedia yang dapat diakses user (siswa) sesuai dengan yang diinginkan sehingga visualisasi yang bersifat abstrak dapat ditampilkan secara konkrit dan dipahami secara mendalam. Maka dengan menggunakan e-learning, siswa mendapatkan kemudahan dalam mengatasi pembelajaran fisika yang banyak menampilkan visualisasi yang bersifat abstrak. Media pembelajaran ini dapat menampilkan konsep yang bersifat abstrak ke dalam konsep yang bersifat konkrit sehingga pemahaman siswa lebih mendalam.
Dalam Jurnal Physics Education, Clinch dan Richards (2002) menyatakan bahwa dalam penggunaan e-learning dengan program java applet yang didownload dari internet sangat baik dalam pembelajaran fisika untuk percobaan/praktikum. Penilitiannya membuktikan bahwa pembelajaran dengan e-learning program java applet dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memvisualisasikan gambar yang bersifat abstrak menjadi konkrit dan tidak hanya dibayangkan saja. Tampilan program dalam e-learning juga dapat digunakan untuk memancing siswa berdiskusi tentang materi atau konsep yang ditampilkan pada layar monitor.
3. Kekurangan E-Learning
Ada beberapa kelemahan dalam e-learning yang sering menjadi pembicaraan, antara lain kemungkinan adanya kecurangan, plagiasi, dan pelanggaran hak cipta. Kuldep Nagi dari Amerika, memberikan ide untuk mengaktifkan diskusi kelompok secara online dan membatasi kadaluwarsa soal-soal ujian.
Selain itu, pengajar (guru) juga harus memberikan interaksi yang responsif dan berkelanjutan untuk mengenal siswa lebih jauh dan dapat melihat minatnya, memberikan ujian berupa analisa atas suatu kasus yang berbeda, serta memintanya untuk menjelaskan logika yang menjadi analisa tersebut.
Emil Marais dan Basie von Solms dari Afrika Selatan menambahkan perlunya penyediaan alat bantu untuk membatasi akses ilegal ke dalam proses pembelajaran, baik dengan menggunakan password ataupun akses dari nomor IP (Internet Protocol) tertentu untuk mengurangi kecurangan dalam praktik e-learning.
Kelemahan yang paling mendasar dari e-learning adalah kecurangan, plagiasi, dan pelanggaran hak cipta. Sesuai data dari Microsoft Corporation, pada tahun 2006 Indonesia menduduki peringkat ke dua terbesar dalam pembajakan di dunia maya (internet) pada khususnya dan penggunaan software di PC (Personal Computer) pada umumnya. Hal tersebut membuktikan bahwa internet dalam hal ini e-learning masih banyak sekali kekurangannya. Pembelajaran dengan menggunakan e-learning juga harus membutuhkan jaringan internet untuk pembelajaran jarak jauh. Padahal tidak semua instansi memiliki jaringan internet. Program-program dalam e-learning juga membutuhkan Personal Computer (PC) dengan spesifikasi yang cukup canggih agar program bisa berjalan dengan baik. Walaupun programer sudah menyediakan fasilitas password atau pengaman tetapi tangan-tangan jahil masih banyak yang merusaknya atau membajaknya. Walaupun demikian, e-learning sebagai suatu inovasi dalam proses pembelajaran sudah memberikan warna baru cara belajar jarak jauh yang mandiri.


Pembelajaran Dengan Peta Konsep

Posted by mi1kelayu.blogspot.com | |

1.      Peta Konsep
a.       Pengertian Peta Konsep
Novak and Gowin (1985) menyatakan bahwa peta konsep adalah alat atau cara yang dapat digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh siswa. Gagasan Novak ini didasarkan pada teori belajar Ausabel. Ausabel sangat menekankan agar guru mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki oleh siswa supaya belajar bermakna dapat berlangsung. Dalam belajar bermakna pengetahuan baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif (otak) siswa. Bila dalam struktur kognitif tidak terdapat konsep-konsep relevan, pengetahuan baru yang telah dipelajari hanyalah hapalan semata.
Belajar bermakna membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dari pihak siswa untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep-konsep yang relevan yang telah mereka miliki. Untuk memperlancar proses tersebut, baik guru maupun siswa perlu mengetahui “ tempat awal konseptual “.  Dengan kata lain guru harus mengetahui konsep-konsep apa yang dimiliki oleh siswa waktu pelajaran baru dimulai, sedangkan para siswa diharapkan mampu menunjukkan dimana mereka berada, atau konsep-konsep apa yang telah mereka miliki dalam menghadapi pelajaran baru tersebut. Dengan menggunakan peta konsep, guru dapat melaksanakan apa yang telah dikemukakan diatas, dengan demikian pada siswa diharapkan akan terjadi belajar bermakna ( Willis Dahar, 1988:156-157 ). Menurut Ausubel dalam Willis Dahar (1988:161) ada dua dimensi belajar yaitu dimensi belajar penerimaan/penemuan dan dimensi belajar bermakna/ hapalan. Berlangsung atau tidaknya belajar bermakna tergantung pada struktur-struktur kognitif yang ada, serta kesiapan dan niat anak didik untuk belajar bermakna, dan kebermaknaan materi pelajaran secara potensial.
Peta konsep sebagai instrumen dapat digunakan untuk  analisis konsep ,mengenai peta konsep itu sendiri berdasarkan definisinya sebagai berikut : Menurut Hudojo, et al (2002) peta konsep adalah saling keterkaitan antara konsep dan prinsip yang direpresentasikan bagai jaringan konsep yang perlu dikonstruk dan jaringan konsep hasil konstruksi inilah yang disebut peta konsep. Sedangkan menurut Suparno (dalam Basuki, 2000, h.9) peta konsep merupakan suatu bagan skematik untuk menggambarkan suatu pengertian konseptual seseorang dalam suatu rangkaian pernyataan. Peta konsep bukan hanya menggambarkan konsep-konsep yang penting, melainkan juga menghubungkan antara konsep-konsep itu. Dalam menghubungkan konsep-konsep tersebut dapat digunakan dua prinsip yaitu prinsip diferensial progresif dan prinsip penyesuaian integratif.
Dahar (1989) mengemukakan ciri-ciri peta konsep sebagai berikut :
1)      Penyajian peta konsep adalah suatu cara untuk memperlihatkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi dalam suatu topik pada bidang studi.
2)      Peta konsep merupakan gambar yang menunjukkan hubungan konsep-konsep dari suatu topik pada bidang studi.3. Bila dua konsep atau lebih digambarkan dibawah suatu konsep lainnya, maka terbentuklah suatu hirarki pada peta konsep itu.
Martin (dalam Basuki, 2000) mengungkapkan bahwa peta konsep merupakan   petunjuk   bagi  guru, untuk  menunjukkan   hubungan  antara   ide-ide   yang penting  dengan  rencana  pembelajaran. Sedangkan  menurut  Arends (dalam Basuki, 2000) menuliskan bahwa penyajian peta konsep merupakan suatu cara yang baik bagi siswa untuk memahami dan mengingat sejumlah informasi baru. Dengan penyajian peta konsep yang baik maka siswa dapat mengingat suatu materi dengan lebih lama lagi.
Pembelajaran dengan menggunakan peta konsep mempunyai banyak manfaat diantaranya menurut Ausubel (dalam Hudojo, et al 2002) menyatakan dengan jaringan konsep yang digambarkan dalam peta konsep, belajar menjadi bermakna karena pengetahuan/informasi “baru” dengan pengetahuan terstruktur yang telah dimiliki siswa tersambung sehingga menjadi lebih mudah terserap siswa. Sedangkan menurut Williams (dalam Basuki, 2000) menuliskan bahwa peta konsep dapat dijadikan sebagai alat untuk mengetahui pemahaman konseptual seseorang.
Dengan mengacu pada peta konsep maka guru dapat membuat suatu program pengajaran yang lebih terarah dan berjenjang, sehingga dalam pelaksanaan proses belajar mengajar dapat meningkatkan daya serap siswa terhadap materi yang diajarkan. Peningkatan daya serap siswa berdasarkan menyampaikan jenjang materi yang terstruktur dapat membuat siswa akan lebih kuat lagi memorinya dan akan lebih mudah mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dipelajarinya.
Peta konsep selain digunakan dalam proses belajar mengajar, dapat diterapkan untuk berbagai tujuan yaitu :
1)      menyelidiki apa yang telah diketahui siswa
2)      Mempelajari cara belajar
3)      Mengungkap miskonsepsi, dan
4)      Sebagai alat evaluasi.
Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi merupakan dua atau lebih konsep-konsep yang dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit semantic. Dalam bentuk yang paling sederhana, peta konsep dapat berupa dua konsep yang dihubungkan oleh kata penghubung untuk membentuk proposisi. Sebagai contoh : ” langit itu biru” mewakili peta konsep sederhana yang membentuk proposisi yang sahih tentang konsep ”langit” dan ”biru”. Dengan demikian siswa dapat mengorganisasi konsep pelajaran yang telah dipelajari berdasarkan arti dan hubungan antara komponennya. Hubungan satu konsep (informasi) dengan konsep lain disebut proposisi. Peta konsep menggambarkan jalinan antar konsep yang dibahas dalam bab yang bersangkutan. Konsep yang dinyatakan dalam bentuk istilah atau label konsep. Konsep-konsep dijalin secara bermakna dengan kata-kata penghubung sehingga dapat membentuk proposisi. Satu proposisi mengandung dua konsep dan kata menghubung. Konsep yang satu mempunyai cakupan yang lebih luas daripada konsep yang lain. Dengan kata lain konsep yang satu lebih inklusif daripada konsep yang lain. Keseluruhan konsep-konsep tersebut disusun menjadi sebuah tingkatan dari konsep yang paling umum, kurang umum dan akhirnya sampai pada konsep yang paling khusus. Tingkatan dari konsep-konsep ini disebut dengan hierarki.
Pada peta konsep, konsep yang lebih inklusif diletakkan di atas. Konsep yang kurang inklusif kemudian dihubungkan dengan kata penghubung. Konsep yang lebih khusus ditempatkan di bawahnya dan dihubungkan lagi dengan kata penghubung. Konsep yang inklusif dapat dihubungkan dengan beberapa konsep yang kurang inklusif. Konsep yang paling inklusif diletakkan pada pohon konsep. Konsep ini disebut kunci konsep. Konsep pada jalur yang satu dapat dihubungkan dengan konsep pada jalur yang lain dengan kata penghubung. Hubungan ini disebut dengan kaitan silang.
Menurut Novak dan Gowin (1985) kriteria penilaian peta konsep adalah :
1)   Proposisi, adalah dua konsep yang dihubungkan oleh kata penghubung. Proposisi dikatakan sahih jika menggunakan kata penghubung yang tepat. Untuk setiap proposisi yang sahih diberi skor 1
2)   Hierarki, adalah tingkatan dari konsep yang paling umum sampai konsep yang paling khusus. Urutan penempatan konsep yang lebih umum dituliskan di atas dan konsep yang lebih khusus dituliskan di bawahnya. Hierarki dikatakan sahih jika urutan penenmpatan konsepnya benar. Untuk setiap hierarki yang sahih diberi skor 5.
3)    Kaitan silang, adalah hubungan yang bermakna antara suatu konsep pada satu hierarki dengan konsep lain pada hierarki yang lainnya. Kaitan silang dikatakan sahih jika menggunakan kata penghubung yang tepat dalam menghubungkan kedua konsep pada hierarki yang berbeda. Sementara itu, kaitan silang dikatakan kurang sahih jika tidak menggunakan kata penghubung yang tepat dalam menghubungkan kedua konsep sehingga antara kedua konsep tersebut menjadi kurang jelas. Untuk setiap kaitan silang yang sahih diberi skor 10. Sedangkan untuk setiap kaitan silang yang kurang sahih diberi skor 2
4)   Contoh, adalah kejadian atau objek yang spesifik yang sesuai dengan atribut konsep. Contoh dikatakan sahih jika contoh tersebut tidak dituliskan di dalam kotak karena contoh bukanlah konsep. Untuk setiap contoh yang sahih diberi skor 1.
b.         Ciri-ciri Peta Konsep
Berdasarkan uraian di atas, berikut ini dikemukakan beberapa ciri-ciri peta konsep :
1)        Peta konsep ialah suatu cara untuk memperlihatkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi dari suatu bidang studi. Jadi dengan membuat peta konsep, siswa dapat melihat bidang studi itu lebih jelas dan mempelajarinya lebih bermakna.
2)        Suatu peta konsep merupakan suatu gambar dua dimensi dari suatu bidang studi atau suatu bagian dari bidang studi. Ciri inilah yang memperlihatkan hubungan-hubungan proporsional antar konsep-konsep.
3)        Cara menyatakan hubungan antar konsep-konsep. Tidak semua mempunyai bobot yang sama. Ini berarti, bahwa ada beberapa konsep yang lebih umum dari pada konsep-konsep yang lain.
4)        Hirarki, Bila dua atau lebih konsep yang digambarkan di bawah suatu konsep yang lebih inklusif, terbentuklah hirarki pada peta konsep itu.
c.         Langkah-langkah Pengembangan Peta Konsep oleh Guru
1)        Menuliskan di atas kertas seluruh konsep atau nama topik yang berkaitan dengan bidang umum yang akan diajarkan.
2)        Memperhatikan adanya fakta-fakta (contoh-contoh) khusus yang penting untuk dipelajari siswa.
3)        Memilih konsep yang paling umum dan tempatkan di bagian atas kertas.
4)        Menambahkan berikutnya konsep yang lebih khusus di bawah konsep umum tadi. Hubungkan keduanya dengan garis penghubung yang diberi label penghubung.
5)        Setelah penulisan konsep yang lebih khusus di baris kedua, melanjutkan penulisan konsep lain yang lebih khusus di baris ketiga, dan seterusnya.
6)        Melengkapi dengan garis penghubung antar konsep sehingga seluruh hirarki menyerupai piramida. Jangan lupa menuliskan label penghubung pada garis tersebut untuk menunjukkan keteraturan antar konsep.
7)        Setelah seluruh peta konsep terbentuk, menandai konsep khusus yang terutama menarik bagi siswa atau tingkat kesulitannya tepat bagi siswa.
Ernest (dalam Basuki, 2000) berpendapat bahwa untuk menyusun suatu peta konsep bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1)        Tentukan dahulu topiknya,
2)        Membuat daftar konsep-konsep yang relevan untuk konsep tersebut,
3)        Menyusun konsep-konsep menjadi sebuah bagan,
4)        Menghubungkan konsep-konsep itu dengan kata-kata supaya bisa terbentuk suatu proposisi,
5)        Mengevaluasi keterkaitan konsep-konsep yang telah dibuat.
Pendapat lain untu membuat peta konsep cukup dengan 5 langkah dengan penjelasan sebagai berikut :
1)        Lakukan Brainstorming selama 10-15 menit per sesi. Ketika Central disebutkan maka konsep apa saja yang terlintas di benak dituliskan terlebih dahulu. Jangan lakukan penilaian apakah relevan atau mau diletakkan di mana.
2)        Kategorisasikan/ kelompokkan sekumpulan ide itu kemudian tentukan hirarki konsep mana yang menjadi dahan (umum), mana yang jadi ranting dan mana yang jadi daun (detil).
3)        Mulai layout / gambarkan konsep-konsep tersebut.
4)        Tarik garis antar konsep tersebut.
5)        Pergunakan warna, Ikon dan Asosiasi untuk menambah cantiknya Peta Konsep yang dihasilkan.
Penggunaan warna, ritme (dari gambar ketebalan dahan, ranting ke daun), layout (spasial), ikon dan asosiasi (menghubungkan Ikon dan Analogi) untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep yang sudah melekat di otak, membantu otak mengingat lebih baik, karena melibat lebih banyak panca indra, juga otak melakukan proses Asimilasi pengetahuan baru terhadap pengetahuan yang sudah mengendap sebelumnya.
Setelah peta konsep itu jadi, maka kemampuan otak kanan secara visual dan holistik serta Gestalt yang memicu “Kayaknya ada yang kurang dan saya bisa tambahkan lebih lanjut” akan meneruskan pengembangan peta tersebut. Kemampuan alami otak kanan yang Random akan tersalurkan ketika ada sebuah konsep baru muncul, maka otak kiri mulai bekerja menganalisa sebaiknya diletakkan di mana.
Ketika melihat peta secara keseluruhan dari jauh maka otak kanan bekerja (seperti seseorang menilai/ mengagumi lukisan) dan ketika tertarik pada suatu lokasi maka otak kiri mulai bekerja secara logis dan analitik.
Sinergis antara dua belahan otak kanan dan kiri inilah yang membuat mengapa Peta Konsep itu sedemikian powerfulnya. Harus sering menggunakan baru bisa merasakan manfaatnya. Karena sepintas peta konsep yang digambar secara manual berantakan tidak beraturan.

d.        Cara Mengajar Siswa Menyusun Peta Konsep.
Membelajarkan siswa menyusun peta konsep harus secara bertahap. Pertama kali meminta siswa menyusun peta konsep perlu dipilih konsep-konsep yang sudah dikenal. Mula-mula guru dapat mengajar siswa memahami peta konsep sebagai modifikasi dari suatu kerangka isi bahan pembelajaran dengan istilah-istilah yang saling dihubungkan dalam hirarki secara vertikal. Cara mengenalkan peta konsep kepada siswa adalah dengan memodelkan cara penyusunannya dengan memfokuskan pada konsep-konsep yang jumlahnya terbatas atau lebih sederhana. Agar siswa lebih memahami peta konsep, dapat diajak untuk menyusun yang lebih luas atau lebih kompleks. Selanjutnya dapat ditugasi oleh guru untuk menyusun peta konsep di rumah secara berkelompok, kemudian guru meminta salah seorang wakil dari tiap-tiap kelompok untuk menampilkan peta konsepnya di papan tulis untuk dikritik secara bersama-sama untuk menghindari miskonsepsi.
e.         Manfaat Peta Konsep
1)        Manfaat peta konsep bagi guru.
a)         Membantu guru memahami macam-macam konsep yang terdapat dalam topik yang akan diajarkan dan memperoleh wawasan baru.
b)        Membantu dalam menghindari miskonsepsi oleh siswa.
c)         Dengan mengidentifikasi konsep-konsep sebelum membuat peta konsep, guru dapat menemukan topik-topik sains secara jelas, sehingga dapat membantu untuk menentukan topik-topik yang perlu dipelajari.
d)        Membantu untuk melihat keterkaitan logis antar konsep-konsep khusus.
e)         Membantu untuk mengorganisasi urutan kegiatan belajar mengajar di kelas.
f)         Membantu untuk penilaian siswa.
g)        Membantu untuk menggali pemahaman siswa sebelum dilakukan pembelajaran.
h)        Sebagai alat untuk menggalakkan pembelajaran kooperatif.
2)        Manfaat peta konsep bagi siswa
a)         Membantu dalam mempelajari konsep-konsep pokok dan proposisi, serta membantu dalam menghubungkan atau mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan yang sedang dipelajarinya.
b)        Membantu mempelajari cara belajar menyusun peta konsep.
c)         Membantu untuk memperoleh wawasan baru.
d)        Membantu siswa menghindari miskonsepsi.
e)         Membantu untuk mempelajari sains secara bermakna.
f)         Secara tidak langsung mengajak siswa belajar kooperatif.
3)        Bagi pengembang dan perencana kurikulum, peta konsep dapat digunakan untuk memilah-milah konsep-konsep yang penting dan konsep-konsep yang tidak penting.
4)        Bagi lingkungan, peta konsep membantu siswa memahami peranannya sebagai pelajar, juga menjelaskan peranan guru serta menciptakan iklim belajar yang saling menghargai antara guru dan siswa. Peta konsep dapat juga membantu guru dan siswa dalam bekerja sama untuk mengatasi informasi-informasi yang keliru atau tidak bermakna.

Belajar dan Pembelajaran

Posted by mi1kelayu.blogspot.com | | | 3 comments »


1.             Belajar
a.             Pengertian Belajar
Secara umum  belajar dapat  diartikan  sebagi proses perubahan  perilaku, akibat  intraksi  individu  dengan lingkungan.  Jadi  perubahan prilaku adalah hasil  belajar,  artinya  seseorang   dikatakan  telah belajar, jika ia  dapat melakukan   sesuatu  yang  tidak dapat dilakukan  sebelumnya. 
Menurut  Kimble & Garmey, sifat  perubahan  perilaku  dalam belajar relatif  permanen. Dengan demikian   hasil belajar dapat diidentifikasi  dari adanya  kemampuan  melakukan sesuatu   secara permanen, dapat diulang – ulang  dengan hasil  yang  sama. Kita membedakan  prilaku hasil belajar dengan  yang terjadi secara kebetulan. Orang yang secara kebetulan dapat melakukan sesuatu, tentu tidak  dapat  mengulangi perbuatan tersebut dengan hasil yang sama, sedangkan orang  dapat melakukan sesuatu  karena hasil  belajar  dapat melakukannya   secara berulang – ulang dengan hasil yang sama.
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan. Tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto:2003:2).
Menurut Winkel ( dalam Darsono , dkk. 2000) belajar adalah aktivitas mental atau psiskis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap.
Dari pendapat para ahli diatas, maka belajar dapat diartikan sebagai aktivitas mental dan pisik  dalam intraksinya dengan lingkungan untuk menghasilkan  sesutau berupa perubahan tingkah laku, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang bersifat permanen.
b.                 Teori Belajar Kooperatif Learning  Tipe Jigsaw
Beberapa teori belajar antara lain :
1)             Teori belajar menurut  J. Bruner
Didalam proses  belajar, Bruner mementingkan  partisipasi  aktif dari tiap siswa,  dan mengenal  dengan baik adanya   perbedaan  kamampuan.  Untuk meningkatkan  proses belajar perlu lingkungan yang  dinamakan  “discovery  learning environment”, ialah  lingkungan   dimana siswa   dapat melakukan   eksplorasi, penemuan – penemuan  baru yang  dikenal  atau pengertian  yang mirip dengan   yang sudah  diketahui. Dalam  tiap lingkungan  selalu ada bermacam – macam   masalah,  hubungan – hubungan   dan hambatan yang  dihayati  oleh siswa secara berbeda – beda  pada usia  yang  berbeda pula.
2)             Teori  belajar Vygotsky
Tokoh konstrutivis lain adalah  Vygotsky. Sumbangan penting  teorinya adalah  penekanan  pada hakekat   pembelajaran  sosiokultur. Inti  dari teorinya yaitu   menekankan  pada interaksi  antara aspek  internal  dan eksternal  dari pembelajaran   dan penekannya  pada lingkuangan  sosial pembelajaran.
Vygotsky  menjabarkan   implikasi   utama teori  pembelajarannya sebagai berikut :
a)             Menghendaki  seting kelas  berbentuk  kooperatif, sehingga siswa  dapat saling  memunculkan  strategi – strategi   pemecahan  masalah  yang efektif  dalam masing – masing   zone  of proximal develpment mereka.  Zone of proximal  development adalah jarak  tingkat perkembangan  sesungguhnya   yang didefinisikan  sebagai  kemampuan  pemecahan  masalah  secara mandiri   dan tingkat  kemampuan   perkembangan   potensial  yang didefinisikan   sebagai  kemampuan  pemecahan masalah  dibawah  bimbingan orang  dewasa atau teman  sebaya yang  lembih  mampu.
b)                 Penedekatan  Vygotsky  dalam pembelajaran  menekankan   sclfolding. Scalfolding  berarti  memberikan  seorang  anak sejumlah besar bantuan  tersebut dan memberikan  kesempatan  pada anak  tersebut  mengambil  alih tanggung jawab  yang semakin  besar  segera  setelah ia mampu mengerjakannya.
Teori yang Melandasi   Pembelajaran Kooperatif.
Dua aspek yang penting yang mendasari keberhasilan cooperative learning yaitu teori motivasi dan teori kognitif ( Slavin dalam Sumiati, 2009 : 46 ).
a). Teori  Motivasi
Aspek motivasi pada dasarnya  ada dalam  konteks  pemberian  penghargaaan  kepada kelompok.  Adanya tujuan  kelompok ( tujuan bersama )  mampu  mencipatakan  situasi  dimana  cara bagi  setiap kelompok  untuk mencapai  tujuannya  sendiri adalah  dengan mengupayakan  agar tujuan  kelompoknya  tercapai  terlebih dahulu.
b).  Teori Kognitif
Asumsi dasar teori – teori perkembangan  kognitif  adalah bahwa  interaksi  antara siswa  disekitar  tugas – tugas  yang sesuai  akan meningkatkan   ketuntasan   mereka  tentang  konsep  - konsep   penting.  Vygotsy  mendefinisikan  Zone of  proximal  development sebagai  suatu selisiah   atau jarak   antara  tingkat  perkembangan  potensial  yang ditentukan  oleh pemecahan   masalah dengan bimbingan   orang dewasa   atau melalui  kerjasama  dengan sejawat  yang  lebih  mampu.
c.        Bentuk – bentuk Belajar.
1).  Belajar Verbal
Bentuk belajar verbal merupakan  bentuk belajar sederhana,  dan dapat menjadi  dasar bagi  bentuk – bentuk  belajar lain.  Bentuk belajar ini menekankan pada  kemampuan  menyatakan ide dengan kata – kata,  seperti dalam  pelajaran bahasa, atau kemampuan  mengingat  suatu konsep  atau prinsip  tertentu  dan menyatakan  kembali  dengan kata – kata.
Prinsip belajar  verbal adalah  proses  pembentukan  asosiasi  verbal, yaitu  hubungan antara  obyek  yang diamati atau obyek  yang dibayangkan   dengan kata – kata.  Sesorang yagn memiliki  kemampuan  asosiasi verbal, dapat menyatakan  dengan jelas   tentang  suatu obyek, baik  keberadaanya, ciri – cirinya, apa  kaitan  antara obyek  yang satu dengan  obyek yang lain.
Materi – materi  pembelajaran yang  digunakan  untuk belajar verbal  berkaitan  dengan kata – kata,  ungkapan, dan kalimat.  Kemampuan  yang diharapkan  dapat dicapai  dalam proses belajar meliputi   kemampuan  mengingat  dan menyatakan   kembali apa  yang  dipelajari  secara bebas dan  cepat,  kemampuan  merangkaikan  kata atau  kelimat  berdasarkan   aturan tertentu,  dan kemampuan  memasang – masangkan kata, rangkaian   katau atau kalimat   yang mempunyai   hubungan satu sama lain. ( De Cecco dan Crawford dalam Sumiati, 2009 : 56).


2).  Belajar Konsep dan Prinsip
Konsep adalah hasil penyimpulan  tentang sesuatu hal berdasarkan  atas  adanya  ciri – ciri yang sama pada  hal tersebut.  Konsep adakalanya barkaitan  dengan  sesuatu obyek, sesutau peristiwa,  atau berkaitan   dengan manusia.  Adapun  yangdimaksud dengan prinsip adalah  suatu pernyataan  yang menjelaskan  tentang hubungan   antara dua  konsep  atau lebih.  Istilah  prinsip kadang – kadang disebut juga  dengan  aturan atau  generalisasi.
Konsep dan prinsip  ada yang bersifat  sederhana, ada yang bersifat  rumit atau  kompleks. Dalam mempelajarinya  pun  dapat  dilakukan  dengan cara  menerima  saja dari orang lain, melalui penjelasan guru,  atau melalui proses   pembentkan konsep. Proses pembentukan konsep  memerlukan  suatu strategi  yang dikenal  dengan strategi   pencapaian  konsep.  Jerome S. Bruner  mengemukakan   dua macam  strategi  pencapaian  konsep yaitu  strategi  pemilihan dan strategi penerimaan.  Dalam strategi  pemilihan,  siswa dituntut untuk menentukan  atau memilih  dari serangkaian  contoh  - contoh  yang dikemukakan  oleh guru,  yang memiliki ciri sama,  dan yang membedakannya  dari contoh – contoh lain, kemudian  mengambil kesimpulan  sendiri atau  merumuskan konsepnya.  Sedangkan  dalam strategi  penerimaan  sejumlah contoh  yang dikemukakan  guru ditandai  dengan ciri – ciri  tertentu,  dan berdasarkan   kesamaan  ciri itulah   diambil   kesimpulan  sebagai konsepnya. ( Joice dan Weil dalam Sumiati 2009 : 57 ).
3).  Belajar Pemecahan Masalah
Sebagiamana bentuk  belajar konsep, ada yang sederhana  dan ada pula yang  kompleks, maka  belajar pemecahan masalah  pun demikia pula,  yaitu ada bentuk  pemecahan masalah  yang  sederhana  dan ada bentuk  pemecahan masalah  kompleks menuntut  proses berpikir  yang lebih rumit.  Kemampuan  pemecahan  masalah  banyak menunjang  kreativitas  seseorang  yaitu  kemampuan  menciptakan  ide baru, baik berifat   asli  ciptaannya sendiri, maupun  merupakan  suatu modifikasi                       ( perubahan )  dari berbagai  ide   yang telah  ada sebelumnya.
Proses pemecahan masalah  dapat berlangsung  jika seseorang  dihadapkan  pada suatu  persoalan yang   didalamnya  terdapat sejumlah  kemungkinan  jawaban.  Upaya  menemukan kemungkinan jawaban itu merupakan proses  pemecahan masalah.  Belajar pemecahan masalah  dapat berlangsung  dalam proses  belajar yang berkaitan   dengan ilmu – ilmu sosial,  ilmu – ilmu kealaman, maupun matematika.
4).  Belajar Keterampilan
Keterampilan melakukan suatu jenis  kegiatan tertentu  merupakan  suatu bentuk  pengalaman belajar  yang sepatutnya   dicapai  melalui proses belajar disekolah.  Dicapainya  keterampilan  yang diperoleh  seseorang  ditandai   oleh adanya   kemampuan  menampilkan   bentuk – bentuk  gerakan  tertentu dalam melakukan   suatu kegiatan,  sebagai respon dari rangsangan  yang datang pada dirinya.  Jadi bentuk belajar keterampilan mirip  dengan bentuk belajar verbal.  Ciri yang membedakan keduanya  adalah, dalam  bentuk belajar  keterampilan  respons atau reaksi  itu ditampilkan   dalam bentuk  gerakan – gerakan motorik  jesmaniah, sedangkan  dalam belajar verbal, respon atau reaksi  yang ditampilkan   berkaitan  dengan penggunaan  kata atau rangkaian kata – kata.
d.       Faktor – faktor dalam belajar.
Ada beberapa faktor dalam belajar yaitu :
1).  Motivasi untuk Belajar
Motivasi pada dasarnya  merupakan dorongan  yang muncul  dari dalam  diri sendiri  untuk bertingkah laku.  Dorongan itu  pada umumnya  diarahkan  untuk mencapai  sesuatu  atau bertujuan. 
Motivasi belajar adalah sesuatu  yang mendorong siswa untuk  berperilaku yang  langsung  menyebabkan  munculnya  perilaku  dalam belajar.  Siswa akan melakukan  sesuatu proses belajar  betapapun  beratnya   jika ia mempunyai  motivasi tinggi.  Motivasi belajar  memegang  peranan cukup  besar terhadap  pencapaian hasil. Tanpa motivasi  belajar siswa  tidak dapat belajar, motivasi belajar pada umumnya muncul  karena  adanya rangsangan, baik yang  datang dari  dalam dirinya sendiri  maupun  dari luar dirinya.
2).  Tujuan yang Hendak Dicapai
Tujuan belajar adalah  arah atau sasaran  yang hendak dituju  oleh  proses  pembelajaran.  Tujuan menuntun  kepada apa yang  hendak dicapai, atau sebagai  gambaran tentang  hasil  akhir  suatu kegiatan. 
Sebagaimana  motivasi, tujuan sebagai salah satu faktor  yang terdapat  dalam  belajar seharusnya  timbul dan  ada pada diri siswa.  Seorang siswa  memasuki suatu jenjang pendidikan tertentu mempunyai tujuan. 
3).  Situasi  yang Mempengaruhi  Proses Belajar.
Faktor situasi atau keadaan yang  mempengaruhi  proses belajar pada siswa  berkaitan   dengan diri siswa sendiri,  keadaan belajar,  proses belajar,  guru yang memberi pelajaran, teman belajar dan pergaulan, serta program belajar   yang ditempuh merupakan faktor  yang mempunyai  pertalian  erat satu  dengan yang lain.  Pressey  mengungkapkan  keadaan ( situasi ) tentang siswa, sebagai berikut :
a)             Siswa sebagai individu yang unik.
Keadaan siswa sendiri  merupakan  suatu komponen  situasi belajar antara seorang siswa  dengan yang lain  akan berbeda. Implikasi terhadap  proses atau peritiwa belajar itu sendiri.  Setiap siswa  tidak akan  ada yang  sama  dalam barbagai  hal antara  satu dengan  yang lain.  Perbedaa itu  berkaitan  dengan keinginan, kebutuhan,  kehendak,  minat, bakat dan kemampuan .
b)         Keadaan  atau situasi  belajar
Keadaan siswa ketika  sedang belajar sangat berpengaruh  terhadap  hasil belajar. Keadaan siswa  itu berkaitan   dengan kondisi  fisik  maupun  mental.  Belajar dalam keadaan fisik sakit, tidak  akan dapat  berlangsung  dengan baik.  Begitu  pula jika mental  dalam keadaan tegang, stress, gugup atau bigung,  maka belajar tidak akan  dapat  berlangsung  dengan baik.
c)                 Proses belajar
Proses belajar memerlukan  metode, teknik, dan waktu. Hal ini  menunjukkan  keadaan yang berbeda – beda antara seseorang  dengan yang lain, juga terhadap  materi  pembelajaran  yang satu dengan yang lain.
d)                 Guru
Guru merupakan  salah satu komponen  situasi belajar.  Keadaan  guru dapat  mempengaruhi  hasil belajar.  Guru merupakan  pendorong dalam belajar. Oleh karena  itu perlu  diperhatikan  keadaan guru berkaitan  dengan kepribadian, kemampuan  dan kondisi  fisik maupun mental, sehingga  belajar akan  dapat  berlangsung  dengan baik  sampai  pada tujuan yang  ingin dicapai.
e)                 Teman
Seringkali  keberhasilan  ataupun kegagalan  belajar  disebabkan oleh  teman  bergaul maupun teman belajar. Oleh karena itu  harus dipertimbangkan  dalam  memilih teman, agar jangan   sampai  manjadi  penyebab kegagalan  dalam belajar.
f)                    Program yang  ditempuh
Apa yang  dipelajari siswa  pada  umumnya terfokus  pada program  pendidikan yang ditempuh.  Oleh karena itu  materi  pembelajaran  yang  sedang  dipelajari  seharusnya  disertai  dengan motivasi, minat dan  sesuai dengan  bakat siswa  itu sendiri.
2.             Model  Pembelajaran Cooperative Learing
a.             Pengertian  Pembelajaran Cooperative Learning
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar mengajar di mana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil dengan tingkat kemampuan kognitif yang heterogen. (Woolfolk dalam Budiningarti 1998: 22) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang didasarkan pada faham konstruktivisme. Pada pembelajaran kooperatif siswa percaya bahwa keberhasilan mereka akan tercapai jika dan hanya jika setiap anggota kelompoknya berhasil.
Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sebagai pengajaran gotong royong atau cooperatif learning. Sistem pendidikan gotong royong merupakan alternatif menarik yang dapat mencegah timbulnya kegresifan dalam sistem kompetisi dan keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan aspek kognitif.
Pembelajaran kooperatif bergantung pada kelompok-kelompok kecili pebelajar. Meskipun isi dan petunjuk yang diberikan oleh pengajar mencirikan bagian dari pengajaran, namun pembelajaran kooperatif secara berhati-hati menggabungkan kelompok-kelompok kecil sehingga anggotaanggotanya dapat bekerja bersama-sama untuk memaksimalkan pembelajaran dirinya dan pembelajaran satu sama lainnya. Masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab untuk mempelajari apa yang disajikan dan membantu teman anggotanya untuk belajar. Ketika kerjasama ini berlangsung, tim menciptakan atmosfir pencapaian, dan selanjutnya pembelajaran ditingkatkan.
Cooperative Learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari 4 (empat) siswa yang mempunyai kemampuan yang berbeda.
b.            Unsur – unsur  Pembelajaran Cooperative
Menurut Muslimin Ibrohim (2000:6) Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
1)             Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka “sehidup sepenanggungan bersama”.
2)             Siswa bertanggungjawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya seperti milik mereka sendiri.
3)             Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
4)             Siswa haruslah membagi tugas dan tanggungjawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
5)             Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
6)             Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
7)             Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
c.             Tujuan Pembelajaran Cooperative
Tujuan pembelajaran cooperative berbeda dengan tujuan pembelajaran tradisional, dimana pembelajaran tradisional ini  mengukur keberhasilan siswa  atau individu  dengan melihat kegagalan  siswa atau individu lain.  Pembelajaran  cooperative ini  menciptakan   keberhasilan siswa atau individu  ditentukan  oleh  keberhasilan kelompoknya.  Model pembelajaran kooperatif  dikembangkan  untuk mencapai  setidak – tidaknya  tiga tujan  pembelajaran  penting  yang dirangkum oleh  Ibrahim, ( 2000 ) yaitu :
1). Hasil Belajar  Akademik
Dalam belajar  kooperatif  meskipun  mencakup  baragam tujuan sosial, juga  memperbaiki  prestasi siswa  atau tugas – tugas   akademis  penting lainnya.  Beberapa   ahli berpendapat   bahwa  model ini   unggul  dalam membantu  siswa  memahami   konsep  - konsep   sulit.  Para pengembang  model ini  telah menunjukkan   bahwa model  struktur   penghargaan   kooperatif   telah dapat  meningkatkan   nilai siswa  pada belajar akademik  dan perubahan   norma  yang berhubungan   dengan hasil belajar.  Disamping  mengubah  norma  yang berhubungan  dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif  dapat memberi  keuntungan  baik pada siswa  kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja  bersama  menyelesaikan  tugas – tugas  akademik.
2). Penerimaan  Terhadap Perubahan  Individu
Tujuan lain model  pembelajaran  kooperatif  adalah penerimaan   secara luas  dari orang – orang  yang berbeda  ras, budaya, kelas sosial, kamampuan, dan ketidak mampuannya.  Pembelajaran kooperatif  memberi peluang   bagi siswa  dari berbagai   latar belakang   dan kondisi  untuk bekerja  dengan saling   bergantung  pada tugas – tugas  akademik  dan melalui  struktur   penghargaan  kooperatif   akan belajar  saling   menghargai  satu sama lain.
3).  Pengembangan  Keterampilan  Sosial
Tujan penting  ketiga pembelajaran  kooperatif adalah, mengajarkan  kepada  siswa keterampilan   bekerja sama dan berkolaborasi. Keterampilan – keterampilan  sosial,  penting  dimiliki  oleh siswa  sebab saat ini  banyak anak  muda masih kurang  dalam keterampilan sosial.
d.            Langkah – langkah  Pembelajaran  Kooperatif
Pembelajaran kooperatif  juga harus  didukung  oleh  langkah – langkah  dan keterampilan  yang melengkapinya. Langkah utama  dalam pembelajaran   kooperatif  menurut  Arends ( dalam  karuru 2001 )  ada enam fase. Pembelajaran  kooperatif dimulai dengan  guru menyampaikan  tujuan pembelajaran  dan motivasi  siswa untuk belajar.  Fase ini  diikuti   siswa dengan  penyajian informasi,  sering dalam  bentuk teks bukan verbal.  Selanjutnya   siswa dikelompokkan   kedalam tim – tim belajar.  Tahap ini  diikuti  bimbingan guru  pada saat siswa  bekerjasama  menyelesaikan  tugas mereka.  Fase terakhir  dari pembelajaran kooperatif yaitu penyajian hasil akhir  kerja kelompok,  dan mengetes  apa yang mereka  pelajari,  serta memberi  penghargaan  terhadap usaha – usaha  kelompok  maupun individu.  Keenam fase  pembelajaran kooperatif  dirangkum  pada  tabel 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1. Langkah – langkah Pembelajaran kooperatif
Fase
Tingkah laku guru
Fase – 1
Menyampaikan tujuan dan motivasi
Guru menyampaikan  semua tujuan  pelajaran  yang ingin dicapai  pada pelajaran  tersebut  dan memotivasi siswa  belajar.
Fase – 2
Menyajikan  informasi
Guru menyampaikan  informasi  pada siswa  dengan jalan  demonstrasi  atau lewat  bahan bacaan.
Fase – 3
Mengorganisasikan  siswa dalam  kelompok – kelompok  belajar
Guru  menjelaskan  kepada siswa  bagiamana  caranya membentuk  kelompok – kelompok  belajar dan  membantu setiap kelompok  agar melakukan  transisi secara  efisien.
Fase – 4
Membimbing  kelompok  bekerja dan  belajar
Guru membimbing   kelompok – kelompok   belajar  pada saat  mereka mengerjakan  tugas mereka
Fase – 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi  hasil belajar  tentang materi   yang telah  dipelajari atau  masing – masing  kelompok  mempresentasikan  hasil  kerjanya.
Fase – 6
Memberi penghargaan
Guru mencari  cara menghargai  baik upaya  maupun  hasil belajar  individu  maupun kelompok.

e.             Pendekatan Pembelajaran Kooperatif
Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah,  terdapat  beberapa  variasi model  tersebut.  Ada empat  pendekatan  pembelajaran  kooperatif ( Arends, 2001). Disini  akan diuraikan  secara ringkas  masing – masing   pendekatan  tersebut.


1).  Student Teams  Achievement Division ( STAD )
STAD dikembangkan  oleh Robert  Slavin dan teman – temanya  di Universitas   John  Hopkin dan merupakan   pendekatan   pembelajaran  kooperatif  yang paling sederhana.  Guru menggunakan  STAD, juga mengacu  kepada   belajar kelompok siswa,  menyajikan  informasi   akademik  baru kepada  siswa setiap   minggu   menggunakan   presentasi   verbal  atau teks.  Siswa dalam  suatu kelas   tertentu  dipecah  menjadi kelompok   dengan anggota  4 – 5 orang, setiap kelompok   haruslah heterogen,  terdiri dari laki – laki  dan perempuan,  berasal dari   berbagai   suku,  memiliki  kemampuan tinggi, sedang dan  rendah.  Anggota tim   menggunakan  lembar kegiatan  atau perangkat   pembelajaran  yang lain utnuk menuntaskan  materi  pelajarannya  dan kemudian  saling membantu  satu sama lain untuk memahami bahan  pelajaran  melalui tutorial, kuis  satu sama lain   atau melakukan  diskusi.  Secara individual   setiap minggu  atau setiap  dua minggu siswa  dberi kuis.  Kuis itu diskor,  dan tiap individu   diberi skor  perkembangan.  Skor perkembangan  ini tidak berdasarkan   pada skor mutlak siswa,  tetapi berdasarkan   pada seberapa jauh   skor itu   melampaui   rata – rata   skor yang lalu.  Setiap   minggu   pada suatu  lembar penilaian   singkat  atau dengan  cara lain,  diumukan  tim – tim   dengan skor tertinggi, siswa yang  mencapai skor   perkembangan  tertinggi, atau  siswa yang mencapai  skor sempurna   pada kuis – kuis  itu.
3).  Group  Investigation  /Investigasi kelompok
Investigasi   kelompok mungkin  merupakan  medel pembelajaran   kooperatif   yang paling  kompleks dan paling  sulit untuk  diterapkan.  Model ini  dikembangkan  pertama kali  oleh Thelen.  Berbeda dengan STAD dan jigsaw, siswa  terlibat  dalam  perencanaan  baik topik  yang dipelajari  maupun  begaimana  jalannya penyelidikan   mereka.  Pendekatan ini  memerlukan   norma  dan struktur  kelas yang   lebih rumit   dari pada  pendekatan yang  lebih  terpusat pada guru.  Dalam penerapan  investigasi  guru membagi   kelas menjadi  kompok  - kelompok  dengan anggota   5 atau 6 siswa  yang heterogen.  Dalam beberapa  kasus,  kelompok  dapat   dibentuk   dengan mempertimbangkan   keakraban persahabatan   atau minat   yang sama dalam  topoik tertentu.  Selanjutnya   siswa memilih  topik  untuk diselidiki,  melakukan   penyelidikan  yang mendalam  atas topik   yang dipilih itu.  Selanjutnya   menyiapkan   dan mempresentasikan   laporannya  kepada seluruh kelas.
4).  Pendekatan Struktural
Pendekatan ini  dikembangkan  oleh Spencer  Kagen  dan kawan – kawannya.  Meskipun  memilik banyak   kesamaan  dengan pendekatan lain, namun  pendekatan   ini memberi penekanan  pada penggunaan  struktur   tertentu yang dirancang  untuk  mempengaruhi   pola interaksi siswa.  Struktur  tugas yang   dikembangkan  oleh Kagen ini  dimaksudkan sebagai alternatif   terhadap  struktur   kelas tradisional, seperti   resitasi,  dimana  guru   mengajukan   pertanyaan   kepada seluruh   kelas dan  siswa memberi jawaban   setelah mengangkat   tangan dan ditunjuk. Struktur  yang dikembangkan  oleh kagen in menghendaki  siswa bekerja   saling membantu   dalam kelompok  kecil dan  lebih dicirikan   oleh penghargaan  kooperatif, dari pada   penghargaan individu. Ada struktur   yang dimbangkan  untuk meningkatkan  perolehan   isi akademik, dan ada struktur yang dirancang   untuk  mengajarkan  keterampilan  sosial dan  keterampilan   kelompok.
5).  Jigsaw
Jigswa pertam kali dikembangkan  dan diuji cobakan   oleh Elliot  Aronson  dan teman – teman  di Universitas  Texas,  dan kemudian  diadaptasi  oleh Slavin  dan  teman – teman di  Universitas  John Hopkins.
Memperjelas  perbandingan  antara keempat   pendekatan  pembelajaran  kooperatif  atau yang lebih   sering disebut  sebagai  tipe pembelajaran  kooperatif  dapat dilihat  dari Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Perbandingan  Empat  Pendekatan  dalam Pembelajaran Koopratif.

STAD
Jigsaw
Group Investigation
Pendekatan Strukur
Tujuan koognitif
Informasi akademik sederhana
Informasi akademik sederhana
Informasi akademik tingkat  tinggi dan keterampilan inkuiri
Informasi  akademik sederhana
Tujuan sosial
Kerja kelompok dan kerja sama
Kerja kelompok  dan kerja sama
Kerja dalam kelompok kompleks
Keterampilan kelompok dan  keterampilan  sosial.
Struktur tim
Kelompok belajar heterogen dengan 4 – 5 orang anggota
Kelompok belajar  heterogen  dengan 5 – 6 anggota,  mengunakan pola “kelompok asal” dan  “Kelompok ahli”
Kelompok  belajar 5 – 6 orang anggota   homogen. Bervariasi, berdua, bertiga
Kelompok 4 – 6 orang anggota
Pemilihan topik
Biasanya guru
Biasanya guru
Biasanya siswa
Biasanya guru
Tugas utama
Siswa dapat  menggunakan  lembar kegiatan  dan saling membantu  untuk menuntaskan  materi belajarnya
Siswa mempelajari materi dalam “kelompok  hali” kemudian membantu anggota   “Kelompok asal” mempelajari materi itu
Siswa menyelesaikan  inkuiri  komples
Siswa mengerjakan  tugas – tugas   sosial dan  kognitif.
Penilian
Tes mingguan
Bervariasi, dapat berpa tes mingguan
Menyelesaikan   proyek  dan menulis laporan, dapat  menggunakan tes uraian
Bervariasi






Pengakuan Lembar
Lembar pengetahuan dan publikasi  lain
Publikasi lain
Lembar pengamatan  dan publikasi lain
Bervariasi

f.                Model Pembelajaran Jig Saw
Pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pertama kali dikembangkan oleh Aronson. dkk di Universitas Texas. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang dengan memperhatikan keheterogenan, bekerjasama positif dan setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari masalah tertentu dari materi yang diberikan dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Siswa diminta untuk membaca suatu materi dan diberi lembar ahli (expert sheet) yang memuat topik-topik berbeda untuk tiap anggota tim yang harus dipelajari pada saat membaca. Apabila siswa telah selesai membaca, selanjutnya dari tim berbeda dengan topik yang sama bertemu (berkumpul) dalam kelompok ahli, untuk mendiskusikan topik mereka selama waktu yang ditentukan. Selanjutnya ahli-ahli ini kembali ke tim masing-masing untuk menyampaikan kepada anggota yang lain dalam satu tim asal. Pada akhirnya siswa mengerjakan kuis yang mencakup semua topik dan skor yang diperoleh menjadi skor tim. skor yang dikontribusi oleh siswa kepada timnya menjadi dasar sistem peningkatan skor individual. Siswa dengan skor tinggi dalam timnya dapat menerima sertifikat atau penghargaan lainnya. Kunci dari pembelajaran tipe JIGSAW adalah saling kertergantungan, yaitu setiap siswa bergantung pada anggota satu timnya untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan agar mengerjakan kuis dengan baik.
Peran guru dalam model pembelajaran kooperative tipe jigsaw adalah mefasilitasi dan memotivasi para anggota kelompok ahli agar mudah untuk memahami materi yang diberikan. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan. Artinya para siswa harus memiliki tanggunga jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang biberikan.
Menurut Slavin ( 1995: 122 ) Kegiatan instruksional yang secara reguler dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif tipe JIGSAW terdiri atas membaca, diskusi kelompok ahli, laporan tim, tes, dan penghargaan tim.
1)             Membaca
Siswa menerima topik ahli dan membaca materi yang ditnjuk untuk menggali informasi (mendalaminya).
2)             Diskusi kelompok ahli
Siswa dengan topik ahli yang sama bertemu untuk mendiskusikannya dalam kelompok ahli.
3)             Laporan tim
Ahli-ahli kembali pada timnya dan mengajarkan topik mereka kepada anggota yang lain dalam satu timnya.
4)             Tes
Siswa mengerjakan kuis individual yang mencakup semua topik.
5)             Penghargaan tim
Tim dimungkinkan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lain apabila skor rata-rata mereka melebihi kriteria tertentu.
Penilaian Dalam Pembelajaran Kooperatif
Penilaian dalam pembelajaran kooperatif dilakukan dengan tes atau kuis tentang bahan pembelajaran. Dalam banyak hal, butir-butir tes pada kuis ini harus merupakan satu jenis tes obyektif paper and pencil, sehingga butir-butir itu dapat diskor di kelas atau segera setelah tes diberikan.
Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :  
·                 Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.




















Keterangan :
Baris I dan III  :  Kelompok Asal
Baris II             :  Kelompok Ahli
                               Gambar 2.1.  Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw

·                 Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
·                 Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
·                 Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
·                 Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
·                 Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
3.         Prestasi  Belajar
Suatu proses belajar diharapkan menghasilkan sesuatu yang disebut hasil belajar. Hasil belajar itu dapat berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dapat diklasifikasikan ke dalam aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Aspek kognitif mencakup kemampuan berpikir, termasuk kemampuan memahami, menghapal, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Aspek afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Aspek psikomotorik mencakup imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi.
Hasil belajar atau prestasi belajar dalam proses belajar mengajar tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi proses belajar. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan sebagai berikut :
a.              Faktor intern (berasal dari diri siswa), meliputi :
1)                Kondisi fisiologis
2)                Faktor psikologis, yang meliputi antara lain: kecerdasan, bakat, minat, motivasi dan perhatian.
b.              Faktor ekstern (berasal dari luar diri siswa), meliputi :
1)   Faktor lingkungan, meliputi: lingkungan alam dan lingkungan sosial. 2) Faktor instrumental, yaitu faktor yang adanya dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil yang diharapkan. Faktor instrumental ini meliputi: kurikulum, sarana, dan prasarana dan guru.
Untuk memperoleh hasil belajar yang baik, perlu pemahaman terhadap prinsip-prinsip atau asas-asas belajar yang dapat mengarahkan kepada cara belajar yang efisien. Menurut Oemar Hamalik dalam Max Darsono (2000:27) prinsip-prinsip belajar tersebut meliputi:
a)                 Belajar yang paling efektif apabila didasari oleh dorongan motivasi yang murni (motivasi instrinsik) dan bersumber dari dalam diri sendiri.
b)                Belajar harus bertujuan, terarah dan jelas bagi siswa.
c)                 Belajar memerlukan bimbingan.
d)                Belajar memerlukan latihan dan ulangan agar apa-apa yang telah dipelajari dapat dikuasai.
e)                 Belajar harus disertai keinginan dan kemauan yang kuat untuk mencapai hasil atau tujuan.
f)                  Belajar dianggap berhasil apabila siswa telah sanggup menstranferkan atau menerapkan ke dalam bidang praktek sehari-hari.
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertianpengertian, sikap-sikap, apresiasi, abilitas, dan ketrampilan Hasil belajar bukan hanya suatu penguasaan hasil latihan saja, melainkan mengubah perilaku. Bukti yang nyata jika seseorang telah belajar adalah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Tingkah laku dalam belajar memiliki unsur subyektif dan unsur motoris. Unsur subyektif adalah unsur rohaniah, sedangkan unsur motoris adalah unsur jasmaniah. Tingkah laku manusia terdiri dari sejumlah aspek. Hasil belajar akan tampak pada setiap perubahan pada aspek-aspek tersebut.